Bersih-bersih Budaya Bullying di PPDS, Giliran Senior yang Traktir Junior di FK UI

6 days ago 6
ARTICLE AD BOX

Jakarta -

Kasus bullying atau perundungan juga terjadi di lingkungan pendidikan dokter spesialis. Prof. Dr. dr. Budi Iman Santoso, Sp.O.G, Subsp.Urogin RE, MPH seorang ahli uroginekologi, mengingatkan pentingnya mengatasi masalah ini.

Ia ingin mengubah anggapan bullying yang semula dianggap hal lumrah demi membangun mental seseorang. Sebagai orang yang juga sempat mengalami perundungan, Prof Budi berharap orang yang melihat atau melakukan bullying dapat menyadari kesalahannya.

"Kalau Anda pernah dibully, saya ingin membantah teori itu. Jangan sampai dia liat bullying, apalagi melakukan bullying, saya ingin mengikis teori itu, padahal waktu itu saya diperlakukan luar biasa," jelas Prof Budi, saat ditemui detikcom di Gedung IMERI Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Kamis (12/9/2024).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Prof Dr dr Siti Setiati, SpPD-KGer, M.Epid, FINASIM, dalam sambutannya di peluncuran buku autobiografi Prof Budi Iman Santoso, Kamis (12/9/2024), konsep-konsep untuk mengatasi bullying sebetulnya sudah dikembangkan Prof Budi untuk memberikan kontribusi positif, khususnya di lingkungan fakultas kedokteran.

"Kita tau masalah bullying yang diangkat terus oleh Menkes. Tapi, sebetulnya ini sudah diusung konsep-konsepnya oleh beliau (Prof Budi), supaya beliau bisa memberikan masukan-masukan positif dalam rangka menyelesaikan masalah bullying pada fakultas kedokteran," kata Prof Ati.

Sementara Prof Dr dr Dwiana Ocviyanti, Sp.OG(K), M.P.H, yang merupakan adik kelas Prof Budi membenarkan bahwa Prof Budi dikenal sebagai senior dermawan dan selalu mempraktikkan prinsip 'yang tua yang membayar'. Ia menyebutkan prinsip ini diterapkan agar lingkungan pendidikan, khususnya di fakultas kedokteran, terbebas dari kasus bullying.

"Saya rasa semua di sini bisa bersaksi, saya sebagai adik kelas jauh, dan Prof Budi senior juga guru saya. Saya lihat waktu itu Prof Budi menyediakan es teler untuk kakak kelasnya, di departemen obgyn," jelas Prof Ovy.

"Sebagai senior, beliau tidak pernah meminta, tetapi selalu memberi. Saya sangat suka durian, lalu mengajak Prof Budi makan durian. Namun, beliau tidak suka durian. Tapi terakhir, duriannya sudah dibayar. Saat saya tanya, beliau menjawab 'kan yang tua yang membayar.' Untuk mencegah bullying, yang berhak membayar harus yang tua, nggak boleh yang muda. Kalau itu terjadi saya yakin tidak ada bullying," tegasnya.

Prof Budi juga menyampaikan bahwa tidak semua pengalaman yang dianggap bullying selalu memiliki dampak negatif. Ia berbagi pengalamannya di masa lalu yang dianggapnya bukan sebagai tindakan bullying, melainkan sebagai cara untuk mendidik dan memperbaiki diri. Meski ada beberapa oknum yang berperilaku kurang baik, Prof Budi merasa hubungan dengan para senior secara umum semakin erat.

"Tapi, buat saya itu bukan bully, buat saya itu adalah mendidik saya untuk membuat saya menjadi lebih baik. Bagaimana kita beradaptasi, kemudian kita semakin akrab dengan senior-senior, kita berbicara secara umum ya. Ada 1 sampai 2 yang oknum, tapi secara senior kita makin akrab," tukas dia.

Sebagai seorang pemimpin, Prof Budi mencoba mengubah pola interaksi dengan mendorong para senior untuk lebih merangkul junior. Ia menekankan bahwa bullying tidak selalu buruk, namun jika sampai menyakiti atau merusak kondisi fisik dan mental seseorang, itu adalah hal yang tidak dapat diterima.

Karena itu, menurutnya, regulasi yang tegas perlu diterapkan untuk mengendalikan perilaku manusia yang sejak lahir telah diciptakan sebagai pribadi baik. Tanpa pengawasan dan peraturan yang jelas, bullying dapat terus terjadi. Penting adanya sanksi tegas, serta upaya sosialisasi dan pembinaan sebagai langkah awal untuk mengatasi masalah ini, sebagaimana yang pernah diterapkan Prof Budi sehingga kasus bullying bisa diminimalisir.

"Harus ada regulasi yang mengatur. Kalau manusia itu harus diatur tidak bisa dilepas begitu saja. Meskipun sejak lahir telah diciptakan jadi manusia yang baik. Tapi, dengan lingkungan yang melihat bullying, bisa jadi mencontoh [bullying]. Jadi, intinya regulasi, Kemudian ada sanksi yang diterapkan. Kalau Cuma regulasi tapi nggak ada sanksi yang diterapkan, percuma. Tapi, sebelum itu tentu harus bersosialisasi, pembinaan dulu, gitu. Itu yang dulu saya kerjakan," tegasnya.


(naf/naf)

Read Entire Article